Sebatu adalah desa adat yang berasal dari urat kata: Sauh = tergelincir dan Batu = batu, jadi sauh batu artinya adalah tergelincir pada batu. Dari kata sauh batu lambat laun cara mengucapkan menjadi Sebatu. Hal ini sesuai benar dengan apa yang terdapat dalam ceritera Mayadenawa pada Usana Bali, yang ceriteranya adalah sebagai berikut :
Mayadenawa adalah seorang raja besar yang menguasai beberapa daerah seperti : Sasak, Sumbawa, Makasar, Bugis, Madura, Blangbangan, dan tentu saja Bali. Beliau bertahta Bedahulu dan mempunyai patih yang sangat sakti
dan setia yaitu Kalawong. Karena mabuk akan kekuasaannya maka wataknya
menjadi sombong angkuh dan “nyapa kadi aku” (egois), menganggap dirinya
paling super bahkan lebih dari itu, yaitu menganggap dirinya sebagai
dewa. Tidak jarang beliau menghalalkan perbuatan yang tidak halal dan pada suatu ketika tatkala beliau sedang dihadap mencegat masyarakat bali yang bermaksud akan menghaturkan sembah widiwedana kepada para
Dewa di pura Besakih. Sabdanya ini mendapat dukungan sepenuhnya dari Ki
Patih Kalawong, oleh karenanya berangkatlah beliau bersama dengan
patihnya ke Besakih, dan tiba di pura Manik Mas. Setelah itu dilihatnya masyarakat Bali datang berduyun-duyun membawa widiwedana.
Dengan
sifat dan sikap yang angkuh Mayadenawa memanggil masyarakat serta
menanyakan apa maksud dan tujuannya mereka datang dengan membawa widiwedana ke Besakih. Yang ditanya dengan lugu menjawabnya, dimana mereka mengatakan behwa kedatangannya itu adalah bertujuan untuk menghaturkan sembah bakti dan widiwedana ke hadapan para Dewata di pura Besakih, agar berkenan
melimpahkan urip waras gemuh landuh dan dirghayusa. Sambil tertawa
terbahak-bahak Mayadenawa menjawab dengan congkaknya, dimana dikatakan
bahwa tiada Dewa terkecuali dirinya sendiri dan di jelaskannya pula bahwa pengertian rakyat Bali itu salah, sedangkan yang benar adalah dirinya sendiri Dewa sejati yang wajar disembah degan menghaturkan widiwedana. Kata-kata itu diucapkan sambil melontarkan ancaman, seandainya berani menentang tentu akan di bunuh. Melihat kejadian itu masyarakat sangat sedih, namun tak seorangpun ada yang berani menolak ada mereka tunduk semuanya. Sejak peristiwa itu masyarakat tidak ada yang berani datang ke Besakih untuk menghaturkan widiwedana, sehingga pulau Bali menjadi kering, di mana-mana penyakit merajalela, tanaman tidak bisa tumbuh, pendek kata masyarakat Bali ditimpa
kesengsaraan lahir dan batin. Hal ini segera dapat di ketahui oleh
Bhatara Putrajaya atau Bhatara Mahadewa, maka beliau segera memanggil
para Dewa lainnya di ajak berunding, untuk mengatasi problema yang
menimpa Pulau Bali. Dalam pertemuan itu telah di simpulkan bahwa ulah sang Mayadenawa itu perlu di laporkan kepada Bhatara Pasupati di Gunung Mahameru dengan maksud agar Mayadenawa segera dilenyapkan dari bumi ini, selanjutnya diceritrakan Bhatara Mahadewa telah tiba dihadapan
Bhatara Pasupati dan setelah menghaturkan sembah lalu diceritrakan
maksud kedatangannya, yaitu untuk membunuh Mayadenawa, karena akibat
dari ulahnya menyebabkan masyarakat Bali ditimpa malapetaka. Bhatara Pasupati tidak keberatan sehingga beliau meminta bantuan kepada Bhatara Indra. Demikian pula Bhatara Indra tiada berkeberatan untuk membantu Bhatara Mahadewa dalam memerangi sang Mayadenawa, maka segeralah pasukan Bhatara Indra disiap-siagakan ke Besakih.
Melalui
mata-mata yang tersebar luas di mana-mana sang Mayadenawa segera
mengetahui maksud Bhatara Mahadewa, di mana di ketahui pula bahwa
Bhatara Indra telah siap-siap tempur dan berkumpul di Besakih. Sang
Mayadenawa pun tidak tinggal diam dan dengan segera disiapkannya pasukan untuk menangkis serangan pasukan Bhatara Indra. Ketika kedua belah pasukan saling berhadapan, maka terjadilah peperangan yang sangat dahsyat, namun ternyata pasukan Bhatara Indra
jauh lebih unggul sehingga pasukan Mayadenawa menjadi porak-poranda
seperti belukar di landa air bah, mengakibatkan Mayadenawa lari
terbirit-birit ketakutan dikejar pasukan Bhatara Indra. Karena kesaktiannya dalam ilmu “maya” (berubah rupa) maka Mayadenawa dalam pelariannya sering kali merubah dirinnya menjadi pohon, binatang dan lain sebagainnya,namun itu di ketahui juga dan terus di kepung oleh pasukan Bhatara Indra. Ketika sang Mayadenawa lari bersembunyi pada pohon timbul maka tempat itu sekarang di namakan Desa
Timbul, ketika bersembunyi pada janur (busung) maka desa tersebut di
namakan Blusung,di dalam persembunyiannya sang Mayadenawa dengan tipu
dayanya menciptakan air beracun (tirta cetik) yang akhirnya di minum
oleh semua pasukan Bhatara Indra sehingga semua pasukan menemui ajalnya. Melihat semua pasukannya menemui ajal Bhatara Indra segera membawa senjata berupa umbul-umbul dan di tancapkan di air beracun itu, sehingga muncul mata air yang besar mengepul dari tanah. Air itu kemudian di gunakan untuk memerciki semua mayat pasukan Bhatara Indra maka ajaib semuanya hidup kembali. Mata air itu sekarang di sebut Tirta Empul. Pengejaran oleh pasukan Bhatara Indra dilanjutkan kembali dan Sang Mayadenawa lari ke arah barat dan menjadi seekor ayam jago, sekarang di sebut Desa Manukaya. Selanjutnya sang Mayadenawa lari sambil bersembunyi lagi pada beberapa tempat dan ketika lari di atas sebuah batu maka tergelincirlah (sauh) kakinya pada batu itu sehingga tempat itu di sebut SAUHBATU. Untuk seterusnya Sang Mayadenawa lari dan tibalah di pangkungpatas bersama patihnya Kalawong, di sana keduanya merubah diri menjadi batu padas, batu tersebut kemudian di panah oleh pasukan Bhatara Indra maka keluar darah dan mengalir pada Sungai Petanu, akhirnya matilah Sang Mayadenawa dengan patihnya.
Demikianlah sejarah singkat asal mula nama desa adat SEBATU.
0 komentar:
Posting Komentar